“Pokoknya aku benci sama badut di pesta ulang tahun!” teriakku setengah memaki. Kubanting pintu kamar setengah berlari.
Ayah mengetuk-ngetuk jari di atas meja makan. Sedikit putus asa. Ibu memandang Ayah dengan perasaan iba, mengusap-usap bahunya menenangkan. Dan acara makan malam hari ini tidak berjalan sesuai rencana. Hanya Ibu dan Ayah yang tetap melanjutkan meski dalam diam. Larut dalam pikirannya masing-masing.
*
Sudah tiga hari ini aku mogok keluar kamar. Bahkan ke sekolah pun tidak. Hari-hariku hanya diisi dengan tidur-tiduran tak jelas, sesekali kadang aku menangis hingga air mata ikut mengering. Melihat keadaanku, Ibu sangat khawatir. Berulang kali beliau membujukku untuk keluar kamar tetapi semua yang dilakukannya tak pernah membuahkan hasil. Aku ingin Ibu dan Ayah tahu bahwa aku pun bisa marah kepada mereka.
Semua berawal ketika di meja makan Ayah dan Ibu mendiskusikan perayaan ulang tahunku yang ke 15 minggu depan. Tadinya aku tidak terlalu tertarik. Tetapi karena Ayah dan Ibu sedikit memaksa dan berjanji akan mengundang semua teman-temanku beserta anak-anak dari panti asuhan, aku menerima tawarannya. Kupikir tak ada salahnya merayakan ulang tahunku. Sampai akhirnya Ayah mengatakan hal yang paling kubenci. “Nindya, nanti Ayah akan mengundang badut untuk menghibur di perayaan ulang tahunmu biar lebih meriah.” Kontan saja aku langsung marah. Apakah Ayah sudah lupa jika aku sangat membenci badut di pesta ulang tahun? Aku sangat kecewa pada Ayah. Terlebih ketika Ibu ikut membela Ayah.
“Nggak ada salahnya kan kalau Ayah mengundang bandut di pesta ulang tahunmu Nin? Pasti teman-temanmu ikut senang..” ujar Ibu kala itu, satu suara dengan Ayah.
Mengapa Ibu ikut membela Ayah? Apakah Ibu berpikir bahwa peristiwa itu sudah berlalu sehingga kini aku tidak lagi membenci badut? Ah, andai saja mereka tahu aku pernah bersumpah seumur hidup tidak mau melihat badut di pesta ulang tahun.
*
Hari berikutnya aku mulai beranjak keluar dari kamar. Walaupun masih mogok berbicara dengan Ayah maupun Ibu. Aku pun kembali bersekolah. Tetapi kali ini aku menjadi sedikit lebih pendiam dari biasanya. Hal ini pula yang membuat Arin, teman sebangkuku heran dengan sikapku yang tak biasa ini.
“Setelah tiga hari nggak masuk, kamu jadi lebih pendiam Nin. Kamu kenapa? Bukannya minggu depan kamu akan merayakan pesta ulang tahun? Harusnya kamu seneng dong…”
Aku tersenyum samar. “Aku nggak apa-apa, Rin. Mungkin badanku masih belum pulih,” aku berbohong. Ya memang selama tiga hari tidak masuk sekolah, Ibu memang memberitahu pihak sekolah jika aku sakit.
“Oh, kalau gitu kamu harus banyak istirahat, Nin. Jangan sampai acara minggu depan batal hehe,” Arin mengedipkan sebelah matanya.
Aku hanya terdiam tak menanggapi. Andai saja mereka tahu bahwa sejujurnya aku tak ingin pesta ulang tahun itu tetap berlangsung. Ingin rasanya memberitahu mereka semua aku ingin membatalkannya. Tapi aku tak tega, terlebih kepada Ayah dan Ibu yang semakin hari semakin sibuk mengurusi persiapan pesta ulang tahunku tanpa pernah melibatkanku.
*
Dahulu, aku adalah seorang gadis kecil pecinta badut. Saking cintanya, Ayah, Ibu, dan Bang Ray, abangku satu-satunya kerap kali membawaku ke tempat hiburan yang di dalamnya terdapat badut-badut lucu yang mengibur. Tidak hanya itu, pusat perbelanjaan ataupun berbagai pesta ulang tahun sering kami kunjungi untuk melihat badut. Di sana, aku menghampiri badut dan berfoto bersama. Semua itu berlangsung terus sampai tiba pada tragedi di pesta ulang tahunku yang ke sepuluh.
Kala itu, aku mengenakan gaun merah muda dibalut pita merah yang manis. Bang Ray juga sudah siap dengan kamera yang menggantung di lehernya. Beberapa kali ia sempat memotretku yang sedang bergaya sebelum kami berangkat ke sebuah restoran, lokasi pesta ulang tahunku.
“Abang ingin kasih kejutan buat Nindya yang manis ini,” katanya sambil tersenyum manis.
“Apa Bang?” tanyaku antusias.
“Rahasia. Pokoknya bakal jadi kejutan seumur hidup kamu,” Bang Ray menjawab sok misterius. Aku terkekeh bahagia, kudaratkan kecupan manis di pipi Abangku itu. ia pun tertawa seraya mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang.
Rupanya, apa yang dibilang Bang Ray memang benar. Ketika sudah sampai di lokasi, aku tak lagi mendapati Bang Ray. Apalagi ketika sanak saudara dan teman-temanku semuanya berkumpul. Aku bahkan sudah lupa dengan kejutan yang dijanjikan Bang Ray. Sampai ketika puncak acara, ketika akan meniup lilin aku mendapati sebuah badut yang berjalan menghampiriku. Kostum badut itu berbentuk Mickey mouse, tokoh kartun favoritku. Mataku langsung berbinar melihatnya. Kupeluk badut itu dan seketika aku lupa dengan lilin yang sudah menunggu untuk ditiup. Ketika akhirnya badut tersebut membuka kostum kepalanya dan membuatku terbelalak. “Bang Ray!” pekikku bahagia.
Ternyata Bang Ray menepati janjinya. Dengan kembali mengenakan kostum badut ia menggendongku dan membawaku untuk meniup lilin. Sungguh hari ulang tahun yang tak akan kulupakan seumur hidup. Aku kembali larut dalam euforia pesta ulang tahun. sampai akhirnya ketika aku mendengar suara ledakan dari arah dapur lokasi pesta ulang tahunku berlangsung. Semua orang yang berada di sana panik, mereka berhamburan keluar ruangan. aku yang tidak begitu menyadarinya masih larut dalam kegembiraan di tengah kerumunan orang yang berusaha menyelamatkan diri. Api menjalar di langit-langit ruangan, asap hitam pun mulai mengepul yang membatasi jarak pandang. Tiba-tiba aku melihat sebuah kayu jatuh dari langit-langit beserta api yang siap jatuh ke arahku. Aku berteriak hingga akhirnya aku melihat Bang Ray, masih dengan kostum badut menarik lenganku. Kemudian aku tak sadarkan diri hingga tak tahu apa yang terjadi.
*
Di rumah sakit aku terus menyebut-nyebut nama Bang Ray ketika sudah siuman. Tetapi yang kudapati hanya Ayah dan Ibu. Ke manakah Bang Ray? Belum sempat aku mengucapkan terima kasih karena ia telah menolongku.
“Bang Ray ke mana,Bu? Udah tiga hari Nindya dirawat kok Bang Ray belum pernah menjenguk,” tanyaku pada Ibu.
Ibu hanya terdiam, tidak menjawab. Hal yang sama pun juga terjadi ketika aku menanyakan Bang Ray pada Ayah. Ayah hanya mengalihkan pembicaraan, tidak sedikitpun menjawab rasa penasaranku akan keberadaan Bang Ray.
Ketika tiba di rumah selepas di rawat di rumah sakit, aku kembali menanyakan Bang Ray. Kemudian Ayah dan Ibu saling berpandangan, kulihat Ayah menganggukkan kepala memberi isyarat kepada Ibu.
“Tapi Nindya janji nggak boleh sedih kalau Ibu beri tahu..”
Aku mengangguk setuju. “Bang Ray, Bang Ray.. meninggal di pesta ulang tahunmu.. Bang Ray tertimpa reruntuhan kayu ketika menyelamatkamu. Nindya janji nggak boleh sedih, sekarang Bang Ray udah tenang di alam sana…”
Aku tersentak mendengarnya. Bang Ray meninggal? Di pesta ulang tahunku? Mengapa secepat itu Bang? Aku berlari memeluk Ibu. “Semua salah Nindya, harusnya Nindya yang mati bukan Bang Ray, Bu!” aku menangis sejadi-jadinya. Ibu memelukku erat, ikut berbagi kesedihan. Di sudut ruangan, Ayah menyeka titik-titik air matanya.
“Nggak ada yang salah, Nin. Memang sudah waktunya Bang Ray pergi…” Ibu membesarkan hatiku.
Semenjak peristiwa itu, aku mulai membenci badut. Terutama badut di pesta ulang tahun. Aku tak pernah lagi mengunjungi tempat hiburan yang terdapat badut di dalamnya. Tidak hanya itu, aku juga tidak lagi pergi ke pusat perbelanjaan yang didalamnya aku bisa menemui badut. Bahkan setiap undangan pesta ulang tahun, aku akan bertanya apakah mereka mengundang badut di acaranya. Jika ada, aku tak pernah mau datang. Sebisa mungkin aku mengindari badut. Karena setiap kali melihat badut hanya membuatku sedih. Aku teringat kembali dengan Bang Ray, teringat saat terakhirku dengan Bang Ray yang memakai kostum badut di pesta ulang tahunku.
*
Ini hari ulang tahunku yang ke lima belas. Suasana di halaman belakangku mulai ramai oleh tamu-tamu yang telah berdatangan. Lagu khas ulang tahun pun sudah terdengar merdu, diiringi dengan suara MC yang kini mulai membuka acara.
Aku masih berada di dalam kamar, tidak berniat sama sekali untuk keluar. Walaupun sudah berkali-kali Ayah Ibu dan sahabat-sahabatku membujuk, aku tidak mau keluar. Hingga akhirnya Arin, masuk ke kamarku dan membujukku keluar.
Air mataku semakin deras ketika melihat badut yang sedang menyalami beberapa temanku dan tamu dari panti asuhan. Cepat-cepat aku meniup lilin dan kembali meninggalkan mereka ke kamar. Di kamar aku kembali menangis, bayangan Bang Ray dan peristiwa lima tahun silam itu kembali menghantui.
“Nindya, buka pintunya, Nak..” sayup-sayup kudengar suara Ibu di luar kamar.
Aku bergegas membuka pintu. Di luar ada Ayah dan Ibu. Ibu memelukku dan menghapus air mata yang masih membanjiri pipiku.
“Kok nangis? Udah ditunggu loh sama teman-teman kamu di luar,” ujar Ayah lembut.
Aku masih terdiam. “Ayo keluar, Nak. Kasian mereka jauh-jauh datang tapi kamu tinggal pergi..” bujuk Ibu.
“Aku benci liat badut di pesta ulang tahun, Bu. Semuanya cuma ngingetin aku sama Bang Ray!”
Ibu kembali mengusap-usap rambutku penuh kasih sayang. “Bang Ray udah tenang, Nin. Kamu nggak boleh sedih terus. Nanti kalau Bang Ray tahu, dia juga ikut sedih..”
“Semenjak peristiwa itu Ayah lihat kamu jadi benci dengan badut. Padahal kita semua tahu kamu sangat suka dengan badut. Kamu juga nggak mau lagi merayakan ulang tahun. Ayah dan Ibu merasa kehilangan Nindya yang ceria. Ayah tahu kamu sangat kehilangan Bang Ray, tapi kamu juga harus tau. Bukan hanya kamu saja yang kehilangan, tapi kita semua. Ayah ingin hari ini kamu berdamai dengan keadaan, kamu nggak boleh selamanya membenci badut dan pesta ulang tahun…”
Aku memeluk Ayah seraya berbisik,”Maafin Nindya, Yah.”
Kemudian kugandeng Ayah dan Ibu menuju halaman belakang. Mereka semua yang melihatku kembali bertepuk tangan, seperti menyambut seseorang yang sudah lama dinantikan. Aku tersenyum tulus. ‘Bang Andre, aku janji akan ikhlas melepaskan kepergianmu. Terimakasih telah menjadi badut yang tak akan kulupakan di dalam hidupku,’ bisikku dalam hati.
*